BERI AKU AYAH, BUNDA!
Karya Najla Putri Mawaddah
Ayah…
Kau ajarkan aku untuk tegar jalani hidup ini
Kau ajarkan aku untuk selalu sabar
Kau ajarkan aku untuk menghargai apa yang kita miliki saat ini
Ayah…
Aku tau hidupku tak sesulit apa yang kau rasakan
Aku tau cobaanmu lebih berat dari yang ku rasakan
Aku tau rasa sayangmu lebih besar dibandingkan yang kurasakan
Ayah…
Tanpa kau, hidup ini terlalu hampa
Dan tak berarti bagiku
Raka memberhentikan ritualnya menulis puisi. Selalu itu kegiatan yang tidak pernah ia lupakan dalam kesehariannya. Karena hanya hal itulah yang bisa mengobati rasa rindunya pada sosok Ayah yang tidak pernah ia ketahui keberadaannya.
“Raka!” Panggil Alam, sahabat Raka. “Ana mudif lho! Ikut yuk,” lanjut Alam memberitahu.
Ayah…
Kau ajarkan aku untuk tegar jalani hidup ini
Kau ajarkan aku untuk selalu sabar
Kau ajarkan aku untuk menghargai apa yang kita miliki saat ini
Ayah…
Aku tau hidupku tak sesulit apa yang kau rasakan
Aku tau cobaanmu lebih berat dari yang ku rasakan
Aku tau rasa sayangmu lebih besar dibandingkan yang kurasakan
Ayah…
Tanpa kau, hidup ini terlalu hampa
Dan tak berarti bagiku
Raka memberhentikan ritualnya menulis puisi. Selalu itu kegiatan yang tidak pernah ia lupakan dalam kesehariannya. Karena hanya hal itulah yang bisa mengobati rasa rindunya pada sosok Ayah yang tidak pernah ia ketahui keberadaannya.
“Raka!” Panggil Alam, sahabat Raka. “Ana mudif lho! Ikut yuk,” lanjut Alam memberitahu.
Raka menoleh lalu tersenyum. “Huft, kholas ba’du faqot. Kuliah etiket dulu.
Nanti juga ente bakal ketemu juga ma ortu!” respon Raka malas. Karena bagi
Raka, hal itu selalu membuatnya iri. Raka memandang dari arah kejauhan. Ia
tatap pintu gerbang, berharap sang bunda telah datang untuk menjemputnya
bersama sosok ayah. Namun bagi Raka itu sangat mustahil. Karena setiap Raka
menanyakan keberadaan Ayah, sang bunda selalu terselimuti mendung.
“Ya udahlah kalau begitu. Yuk ila ko’ah!” respon Alam, sambil merangkul Raka layaknya sahabat. Mereka langsung berjalan kearah auditorium yang sudah dipenuhi oleh seluruh santriwan dari kelas satu sampai kelas enam yang sudah duduk kalem, karena acara kuliah etiket menjelang liburan semester ganjil akan dimulai.
Raka menutup buku diarynya lalu menentengnya, Alam yang melihat itu langsung bertanya. “Nulis puisi lagi buat Ayah?”
Raka mengangguk lemas. “Iya.” Jawab Raka pendek.
Alam geleng-geleng kepala. Ia memang sudah tau betul kebiasaan Raka. Sebenarnya Alam sendiri prihatin dengan Raka. Setiap Raka dijenguk, selalu bibi atau tantenya yang datang. Sedangkan sang Bunda hanya setiap Raka libur sekolah, yakni setiap menjemput Raka. Alam tau, bunda Raka bekerja di Negara timur tengah, yakni di kota Jeddah menjadi TKW (Tenaga Kerja Wanita). Tapi, yang Alam bingung, ia tidak pernah melihat ayah Raka. Setiap Alam menanyakannya pada Raka, Raka selalu menghindar sambil menunduk sedih. Maka dari itu, Alam tidak berani lagi menanyakan soal itu pada Raka.
***
“Bunda!” Panggil Raka pada sosok Ibu kepala empat yang sedang berdiri di depan wisma. Ia tersenyum pada ibu itu, tak lain bundanya sendiri. Arini yang tak lain bunda Raka, membalas senyuman anak tunggalnya itu.
“Apa kabar, sayang?” Tanya Arini. Raka mencium punggung tangan bundanya. Arini mengelus kepala Raka lembut. Ia lihat sang anak semakin patuh dan menghormatinya. Tak menyesal ia, menaruh pendidikan pada anaknya di pondok pesantren.
“Allhamdulillah, Raka baik Bunda. Bunda datang dengan siapa?” Tanya Raka, berharap Bundanya datang bersama sang ayah.
“Bunda datang sendiri. Memangnya kenapa, Nak?” terang Arini, sedikit antusias. Pikirannya kembali pada sang suami. Ia tau, pasti Raka menginginkannya datang bersama sang suami. Namun menurutnya itu sangat mustahil. Karena dirinya tidak akan mau lagi disandingkan dengan seseorang yang sudah menjadi masa lalunya, walau Raka tidak tahu menahu soal itu.
Raka menunduk dengan rasa kecewa. “Nggak papa, Bun! Kita pulang sekarang yuk!” ajak Raka masih sambil menunduk. Arini tidak enak hati, karena ia sudah membuat anaknya kecewa. Maafkan bunda sayang! Bunda hanya nggak mau, kamu menanyakan laki-laki itu! Arini membatin.
***
“Happy birthday, Raka! Happy Birthday, Raka! Happy Birtday, Happy Birthday, happy birthday, Raka!” Arini menyenandungkan lagu ulang tahun pada Raka, anak semata wayangnya. Raka yang sedang tertidur pulas di ranjang, akhirnya terbangun. Ia langsung tersenyum senang, ketika mendapati sang bunda sudah duduk dihadapannya membawa sebuah kue tar yang ditengahnya berdiri kokoh lilin berangka 15. Raka ingat, hari ini adalah hari ulang tahunnya. Ia bersyukur, karena ia bisa merayakan hari special itu bersama sang bunda di istananya.
“Ayo tiup lilinnya, sayang!” perintah Arini lembut. Sebelum meniup lilin, Raka mengucapkan sebuah permohonan. Ya Allah, di hari ulang tahunku ini, izinkanlah aku untuk bisa bertemu Ayah! Itulah permohonan Raka. Setelah itu ia meniup lilin, Arini tak lain sang bunda tersenyum lalu memberikan sebuah kotak besar untuknya. Itu adalah kado ulang tahun untuknya.
“Buat Raka, Bun?” Tanya Raka. Arini mengangguk. Raka membuka dengan semangat. Ternyata, sebuah laptoplah kado ulang tahun dari bunda. Ah, bundanya memang baik. Walaupun laki-laki, terkadang Raka ini ada manjanya. Hehe, maklum ia kan jarang bertemu sang bunda. Raka mencium bundanya lembut. “Syukron katsiron, ya Umi!” ucap Raka tulus. Arini yang sangat mengerti bahasa yang sudah ikut mendarah daging di setiap kesehariaannya, langsung membalas “Ma’a syukri, ya ibni!”
Setelah menikmati kado dari sang bunda, Raka memberanikan diri untuk membahas soal ayah. Sebab sudah selama umurnya, ia tidak pernah dipertemukan oleh sang ayah.
“Bun… boleh, Raka nanya sesuatu?” ucap Raka lembut dan hati-hati.
“Boleh, mau nanya apa nak?” Tanya Arini.
“Soal ayah, Bun! Apa, sampai saat ini, bunda tetap tidak mau mempertemukan Raka dengan ayah? Sebenarnya, ayah itu masih ada atau sudah tiada, Bun? Raka rindu dengan ayah! Raka ingin seperti teman-teman Raka yang selalu dijenguk dengan ayah dan bundanya. Beri aku Ayah, Bunda!” ucap Raka penuh permohonan.
Deg. Arini seperti dihantam benalu. Sakit rasanya, mendengar Raka membahas soal ayahnya. Namun dari dalam lubuk hatinya, Raka memang harus tau. Ia tidak boleh menyembunyikan persoalan ini terus menerus.
“Raka ingin bertemu ayah?” Tanya Arini memastikan.
Raka mengangguk mantap. Kali ini, ia sangat berharap. Rindunya terhadap sang ayah, sudah semakin menggebu. Arini yang melihat ketekatan dari dalam diri Raka, hanya bisa menghembuskan nafas berat. “Kalau begitu, Raka ikut bunda.” Ucap Arini akhirnya.
“Kemana, Bun?”
“Bertemu ayahmu!”
***
Bendera kuning, terpasang tepat di sebuah rumah sederhana berpagar hijau. Bendera kuning itu, sudah mengundang beberapa warga untuk berbela sungkawa. Arini yang melihat bendera kuning itu, kaget bukan main. Siapa yang meninggal? Benaknya bertanya-tanya. Ia langsung menarik tangan Raka yang masih keheranan dengan bendera kuning yang terpasang dipagar hijau itu. Arini dan Raka berjalan memasuki rumah itu. Seorang ibu paruh baya, menghampiri mereka sambil menangis.
“Akhirnya kamu datang juga Arini! Riko… Riko, suamimu sudah meninggal nak!” ucap ibu paruh baya itu, memberitahu.
“Apa, Bu? Riko sudah meninggal? Jadi ini…” Arini tak mampu berkata. Ia menoleh ke arah Raka. Namun tidak ia temukan Raka disampingnya. Mata Arini mencari-cari. Seketika, ia sudah melihat Raka berjalan masuk.
“Mau kemana, nak?” Tanya bapak setengah baya. “Mau ke jenazah itu?”
Raka mengangguk. “Iya. Dia ayah saya, Pak!” jelas Raka sambil menghapus air matanya yang sudah terlanjur jatuh.
“Jangan dekat-dekat nak! Nanti ketularan lho!” ucap bapak itu memperingati.
Raka terperangah. Apa maksudnya? Batin Raka berkata. Keningnya berlipat-lipat tak karuan. Bapak setengah baya itu, langsung menjelaskan.
“Lebih baik, ade ikut kami mendoakan ayah ade. Tidak usah dilihat ya.”
Raka menggeleng . “Tapi saya ingin melihat jenazah ayah saya, Pak!” ucap Raka keukeh.
“Benar kata, bapak itu nak!” Seru sang bunda menghampiri. Sekali lagi, Raka hanya bisa menggelengkan kepalanya.
“Kenapa, Bun? Raka kan belum pernah melihat ayah?” Tanya Raka heran.
“Ikut bunda nak.” Arini menyuruh Raka mengikutinya masuk ke dalam sebuah kamar. Raka mengekor dari belakang.
***
“Bunda, kenapa seperti ini bunda? Raka ingin bertemu ayah dalam keadaan hidup, bukan diam beku seperti ini!” ucap Raka membuka pembicaraan. Wajahnya terlihat mendung dan muram. Air matanya tak henti-henti terus berjatuhan. “Terus, kenapa bapak itu, menyuruh Raka tidak boleh melihat ayah? Kenapa, Bunda?” Lanjut Raka dengan beruntun pertanyaan.
“Ayahmu terkena penyakit aids, Raka!” aku sang bunda, membuat Raka kaget bukan main.
“Apaaa?” ucap Raka menahan sesak. “Itu nggak mungkin, Bunda!” lanjut Raka tak percaya.
“Kamu sudah semakin dewasa sekarang. Baiklah, bunda akan menceritakannya sama kamu, nak!” ucap Arini sambil menghembuskan nafas panjang dan menerawang. Matanya sedikit mulai berkaca-kaca. “Waktu bunda mengandungmu, ayahmu itu sering mainin perempuan, nak! Bunda sakit hati dengan kelakuan ayahmu! Akhirnya bunda meminta diceraikan. Ayahmu menikah lagi setelah kamu lahir. Dan disaat itu, Ibu menitipkanmu ke bibi Ishak. Karena ibu memilih untuk bekerja di arab menjadi TKW.” Jelas Arini perlahan.
Arini menatap Raka lekat-lekat. Ia tau, anaknya sangat terluka mendengarnya. Arini mulai melanjutkan. “Ibu tau ayahmu terkena penyakit aids, dari isteri mudanya. Isteri mudanya tidak mau bersama ayahmu lagi karena penyakit itu! Ia menyerahkan ayahmu begitu saja, ke bunda. Dari lubuk hati bunda, bunda sangat sedih nak melihat kondisi ayahmu! Namun karena bunda harus bekerja untuk menafkahkanmu, bunda menitipkan ayahmu pada ibu tua yang pertama menyambut kita itu! Hanya dialah yang mempunyai hati seluas samudera untuk merawat ayahmu! Karena hal itulah nak, bunda tidak ingin kamu tau keberadaan ayahmu!” Arini menyentuh pipi Raka. Ia menghapus air mata anak tunggalnya itu.
“Maafkan bunda sayang, kalau bunda menyembunyikan ayahmu! Bunda hanya nggak mau, kamu mengetahuinya. Bunda juga nggak mau kamu sedih, nak!” aku Arini memelas.
Raka memang terlanjur menangisi apa yang ia rasakan sekarang. Masa lalu bundanya yang penuh penderitaan, sifat ayahnya di masa lalu, dan cara bundanya untuk berusaha menyembunyikan ayahnya dari dirinya, sangat membuatnya tak bisa berkata apa-apa lagi. Hatinya terlanjur sesak dan gerimis. Sungguh, ini adalah hari ulang tahun yang baginya dirayakan dengan tumpahan air mata.
***
Gerimis di pekuburan. Raka berjongkok di sisi pusara dengan nisan kayu bertuliskan RIKO PRAMUDYA. Disinilah tempat ayahnya beristirahat dengan tenang, tanpa ucapan pertemuan apalagi perpisahan untuk pergi selama-lamanya. Arini yang berdiri di dekat situ, tidak mampu untuk berkata-kata. Ia tidak mau mengusik anaknya yang ingin meluangkan waktunya bersama Almarhum Riko.
“Kenapa ayah, harus pergi sekarang? Kenapa harus di ulang tahun Raka, Yah?” Desah Raka. “Raka nggak peduli, bagaimanapun keadaan ayah, Raka tetap menganggap ayah sebagai ayah kandung Raka. Karena Raka sangat menyayangi ayah, walau Raka belum pernah bertemu ayah! Kenapa ayah nggak ngasih kesempatan sama Raka dulu, untuk bertemu ayah?” Raka terisak. Dadanya bergemuruh dengan kesedihan yang sangat mendalam.
“Raka, kita pulang yuk! Biarlah ayahmu tenang di rumah barunya…” ucap Arini akhirnya. Raka terenyuh. Ia merasa tubuhnya begitu lemah. Matanya sudah terlanjur sembab karena habis menangis. Ia nggak bisa berontak, ketika bundanya menuntunnya untuk pulang.
“Kamu tau, apa alasan bunda mendidik kamu di pondok pesantren?” ucap sang bunda dalam setiap langkah meninggalkan makam.
Raka mendongak, menatap sang bunda. Ia menggeleng. “Karena apa, Bun?” respon Raka.
“Karena bunda nggak mau, kamu seperti ayahmu, nak! Bunda hanya ingin kamu menjadi anak yang sholeh.” Terang Arini.
Raka hanya diam mengerti. Ia terus berjalan meninggalkan makam sang ayah. Detik kemudian, ia menoleh lagi ke belakang kembali menatap pusara bertabur bunga yang hanya diam dan tak bergeming itu.
“Ya udahlah kalau begitu. Yuk ila ko’ah!” respon Alam, sambil merangkul Raka layaknya sahabat. Mereka langsung berjalan kearah auditorium yang sudah dipenuhi oleh seluruh santriwan dari kelas satu sampai kelas enam yang sudah duduk kalem, karena acara kuliah etiket menjelang liburan semester ganjil akan dimulai.
Raka menutup buku diarynya lalu menentengnya, Alam yang melihat itu langsung bertanya. “Nulis puisi lagi buat Ayah?”
Raka mengangguk lemas. “Iya.” Jawab Raka pendek.
Alam geleng-geleng kepala. Ia memang sudah tau betul kebiasaan Raka. Sebenarnya Alam sendiri prihatin dengan Raka. Setiap Raka dijenguk, selalu bibi atau tantenya yang datang. Sedangkan sang Bunda hanya setiap Raka libur sekolah, yakni setiap menjemput Raka. Alam tau, bunda Raka bekerja di Negara timur tengah, yakni di kota Jeddah menjadi TKW (Tenaga Kerja Wanita). Tapi, yang Alam bingung, ia tidak pernah melihat ayah Raka. Setiap Alam menanyakannya pada Raka, Raka selalu menghindar sambil menunduk sedih. Maka dari itu, Alam tidak berani lagi menanyakan soal itu pada Raka.
***
“Bunda!” Panggil Raka pada sosok Ibu kepala empat yang sedang berdiri di depan wisma. Ia tersenyum pada ibu itu, tak lain bundanya sendiri. Arini yang tak lain bunda Raka, membalas senyuman anak tunggalnya itu.
“Apa kabar, sayang?” Tanya Arini. Raka mencium punggung tangan bundanya. Arini mengelus kepala Raka lembut. Ia lihat sang anak semakin patuh dan menghormatinya. Tak menyesal ia, menaruh pendidikan pada anaknya di pondok pesantren.
“Allhamdulillah, Raka baik Bunda. Bunda datang dengan siapa?” Tanya Raka, berharap Bundanya datang bersama sang ayah.
“Bunda datang sendiri. Memangnya kenapa, Nak?” terang Arini, sedikit antusias. Pikirannya kembali pada sang suami. Ia tau, pasti Raka menginginkannya datang bersama sang suami. Namun menurutnya itu sangat mustahil. Karena dirinya tidak akan mau lagi disandingkan dengan seseorang yang sudah menjadi masa lalunya, walau Raka tidak tahu menahu soal itu.
Raka menunduk dengan rasa kecewa. “Nggak papa, Bun! Kita pulang sekarang yuk!” ajak Raka masih sambil menunduk. Arini tidak enak hati, karena ia sudah membuat anaknya kecewa. Maafkan bunda sayang! Bunda hanya nggak mau, kamu menanyakan laki-laki itu! Arini membatin.
***
“Happy birthday, Raka! Happy Birthday, Raka! Happy Birtday, Happy Birthday, happy birthday, Raka!” Arini menyenandungkan lagu ulang tahun pada Raka, anak semata wayangnya. Raka yang sedang tertidur pulas di ranjang, akhirnya terbangun. Ia langsung tersenyum senang, ketika mendapati sang bunda sudah duduk dihadapannya membawa sebuah kue tar yang ditengahnya berdiri kokoh lilin berangka 15. Raka ingat, hari ini adalah hari ulang tahunnya. Ia bersyukur, karena ia bisa merayakan hari special itu bersama sang bunda di istananya.
“Ayo tiup lilinnya, sayang!” perintah Arini lembut. Sebelum meniup lilin, Raka mengucapkan sebuah permohonan. Ya Allah, di hari ulang tahunku ini, izinkanlah aku untuk bisa bertemu Ayah! Itulah permohonan Raka. Setelah itu ia meniup lilin, Arini tak lain sang bunda tersenyum lalu memberikan sebuah kotak besar untuknya. Itu adalah kado ulang tahun untuknya.
“Buat Raka, Bun?” Tanya Raka. Arini mengangguk. Raka membuka dengan semangat. Ternyata, sebuah laptoplah kado ulang tahun dari bunda. Ah, bundanya memang baik. Walaupun laki-laki, terkadang Raka ini ada manjanya. Hehe, maklum ia kan jarang bertemu sang bunda. Raka mencium bundanya lembut. “Syukron katsiron, ya Umi!” ucap Raka tulus. Arini yang sangat mengerti bahasa yang sudah ikut mendarah daging di setiap kesehariaannya, langsung membalas “Ma’a syukri, ya ibni!”
Setelah menikmati kado dari sang bunda, Raka memberanikan diri untuk membahas soal ayah. Sebab sudah selama umurnya, ia tidak pernah dipertemukan oleh sang ayah.
“Bun… boleh, Raka nanya sesuatu?” ucap Raka lembut dan hati-hati.
“Boleh, mau nanya apa nak?” Tanya Arini.
“Soal ayah, Bun! Apa, sampai saat ini, bunda tetap tidak mau mempertemukan Raka dengan ayah? Sebenarnya, ayah itu masih ada atau sudah tiada, Bun? Raka rindu dengan ayah! Raka ingin seperti teman-teman Raka yang selalu dijenguk dengan ayah dan bundanya. Beri aku Ayah, Bunda!” ucap Raka penuh permohonan.
Deg. Arini seperti dihantam benalu. Sakit rasanya, mendengar Raka membahas soal ayahnya. Namun dari dalam lubuk hatinya, Raka memang harus tau. Ia tidak boleh menyembunyikan persoalan ini terus menerus.
“Raka ingin bertemu ayah?” Tanya Arini memastikan.
Raka mengangguk mantap. Kali ini, ia sangat berharap. Rindunya terhadap sang ayah, sudah semakin menggebu. Arini yang melihat ketekatan dari dalam diri Raka, hanya bisa menghembuskan nafas berat. “Kalau begitu, Raka ikut bunda.” Ucap Arini akhirnya.
“Kemana, Bun?”
“Bertemu ayahmu!”
***
Bendera kuning, terpasang tepat di sebuah rumah sederhana berpagar hijau. Bendera kuning itu, sudah mengundang beberapa warga untuk berbela sungkawa. Arini yang melihat bendera kuning itu, kaget bukan main. Siapa yang meninggal? Benaknya bertanya-tanya. Ia langsung menarik tangan Raka yang masih keheranan dengan bendera kuning yang terpasang dipagar hijau itu. Arini dan Raka berjalan memasuki rumah itu. Seorang ibu paruh baya, menghampiri mereka sambil menangis.
“Akhirnya kamu datang juga Arini! Riko… Riko, suamimu sudah meninggal nak!” ucap ibu paruh baya itu, memberitahu.
“Apa, Bu? Riko sudah meninggal? Jadi ini…” Arini tak mampu berkata. Ia menoleh ke arah Raka. Namun tidak ia temukan Raka disampingnya. Mata Arini mencari-cari. Seketika, ia sudah melihat Raka berjalan masuk.
“Mau kemana, nak?” Tanya bapak setengah baya. “Mau ke jenazah itu?”
Raka mengangguk. “Iya. Dia ayah saya, Pak!” jelas Raka sambil menghapus air matanya yang sudah terlanjur jatuh.
“Jangan dekat-dekat nak! Nanti ketularan lho!” ucap bapak itu memperingati.
Raka terperangah. Apa maksudnya? Batin Raka berkata. Keningnya berlipat-lipat tak karuan. Bapak setengah baya itu, langsung menjelaskan.
“Lebih baik, ade ikut kami mendoakan ayah ade. Tidak usah dilihat ya.”
Raka menggeleng . “Tapi saya ingin melihat jenazah ayah saya, Pak!” ucap Raka keukeh.
“Benar kata, bapak itu nak!” Seru sang bunda menghampiri. Sekali lagi, Raka hanya bisa menggelengkan kepalanya.
“Kenapa, Bun? Raka kan belum pernah melihat ayah?” Tanya Raka heran.
“Ikut bunda nak.” Arini menyuruh Raka mengikutinya masuk ke dalam sebuah kamar. Raka mengekor dari belakang.
***
“Bunda, kenapa seperti ini bunda? Raka ingin bertemu ayah dalam keadaan hidup, bukan diam beku seperti ini!” ucap Raka membuka pembicaraan. Wajahnya terlihat mendung dan muram. Air matanya tak henti-henti terus berjatuhan. “Terus, kenapa bapak itu, menyuruh Raka tidak boleh melihat ayah? Kenapa, Bunda?” Lanjut Raka dengan beruntun pertanyaan.
“Ayahmu terkena penyakit aids, Raka!” aku sang bunda, membuat Raka kaget bukan main.
“Apaaa?” ucap Raka menahan sesak. “Itu nggak mungkin, Bunda!” lanjut Raka tak percaya.
“Kamu sudah semakin dewasa sekarang. Baiklah, bunda akan menceritakannya sama kamu, nak!” ucap Arini sambil menghembuskan nafas panjang dan menerawang. Matanya sedikit mulai berkaca-kaca. “Waktu bunda mengandungmu, ayahmu itu sering mainin perempuan, nak! Bunda sakit hati dengan kelakuan ayahmu! Akhirnya bunda meminta diceraikan. Ayahmu menikah lagi setelah kamu lahir. Dan disaat itu, Ibu menitipkanmu ke bibi Ishak. Karena ibu memilih untuk bekerja di arab menjadi TKW.” Jelas Arini perlahan.
Arini menatap Raka lekat-lekat. Ia tau, anaknya sangat terluka mendengarnya. Arini mulai melanjutkan. “Ibu tau ayahmu terkena penyakit aids, dari isteri mudanya. Isteri mudanya tidak mau bersama ayahmu lagi karena penyakit itu! Ia menyerahkan ayahmu begitu saja, ke bunda. Dari lubuk hati bunda, bunda sangat sedih nak melihat kondisi ayahmu! Namun karena bunda harus bekerja untuk menafkahkanmu, bunda menitipkan ayahmu pada ibu tua yang pertama menyambut kita itu! Hanya dialah yang mempunyai hati seluas samudera untuk merawat ayahmu! Karena hal itulah nak, bunda tidak ingin kamu tau keberadaan ayahmu!” Arini menyentuh pipi Raka. Ia menghapus air mata anak tunggalnya itu.
“Maafkan bunda sayang, kalau bunda menyembunyikan ayahmu! Bunda hanya nggak mau, kamu mengetahuinya. Bunda juga nggak mau kamu sedih, nak!” aku Arini memelas.
Raka memang terlanjur menangisi apa yang ia rasakan sekarang. Masa lalu bundanya yang penuh penderitaan, sifat ayahnya di masa lalu, dan cara bundanya untuk berusaha menyembunyikan ayahnya dari dirinya, sangat membuatnya tak bisa berkata apa-apa lagi. Hatinya terlanjur sesak dan gerimis. Sungguh, ini adalah hari ulang tahun yang baginya dirayakan dengan tumpahan air mata.
***
Gerimis di pekuburan. Raka berjongkok di sisi pusara dengan nisan kayu bertuliskan RIKO PRAMUDYA. Disinilah tempat ayahnya beristirahat dengan tenang, tanpa ucapan pertemuan apalagi perpisahan untuk pergi selama-lamanya. Arini yang berdiri di dekat situ, tidak mampu untuk berkata-kata. Ia tidak mau mengusik anaknya yang ingin meluangkan waktunya bersama Almarhum Riko.
“Kenapa ayah, harus pergi sekarang? Kenapa harus di ulang tahun Raka, Yah?” Desah Raka. “Raka nggak peduli, bagaimanapun keadaan ayah, Raka tetap menganggap ayah sebagai ayah kandung Raka. Karena Raka sangat menyayangi ayah, walau Raka belum pernah bertemu ayah! Kenapa ayah nggak ngasih kesempatan sama Raka dulu, untuk bertemu ayah?” Raka terisak. Dadanya bergemuruh dengan kesedihan yang sangat mendalam.
“Raka, kita pulang yuk! Biarlah ayahmu tenang di rumah barunya…” ucap Arini akhirnya. Raka terenyuh. Ia merasa tubuhnya begitu lemah. Matanya sudah terlanjur sembab karena habis menangis. Ia nggak bisa berontak, ketika bundanya menuntunnya untuk pulang.
“Kamu tau, apa alasan bunda mendidik kamu di pondok pesantren?” ucap sang bunda dalam setiap langkah meninggalkan makam.
Raka mendongak, menatap sang bunda. Ia menggeleng. “Karena apa, Bun?” respon Raka.
“Karena bunda nggak mau, kamu seperti ayahmu, nak! Bunda hanya ingin kamu menjadi anak yang sholeh.” Terang Arini.
Raka hanya diam mengerti. Ia terus berjalan meninggalkan makam sang ayah. Detik kemudian, ia menoleh lagi ke belakang kembali menatap pusara bertabur bunga yang hanya diam dan tak bergeming itu.
Masih segar goresan luka kepergianmu
Sedih ini bercampur pilu
Tangis ini bercampur rindu
Sesungguhnya aku, membutuhkan kasih sayangmu
Membutuhkan pelukanmu
Namun apalah dayaku, ayah!
Kini ku hanya bisa memandang nisanmu
Dan mengenangmu
Doaku ini mengiringi perjalananmu
Semoga Allah mengampuni dosa-dosamu
Semoga Allah menerima amal ibadahmu
Dan semoga tempat yang layak ditujukan padamu
Ayah… meski kau telah tiada,
Namun kasih sayang dariku, akan selalu ada bersamamu…
***
The End
Sedih ini bercampur pilu
Tangis ini bercampur rindu
Sesungguhnya aku, membutuhkan kasih sayangmu
Membutuhkan pelukanmu
Namun apalah dayaku, ayah!
Kini ku hanya bisa memandang nisanmu
Dan mengenangmu
Doaku ini mengiringi perjalananmu
Semoga Allah mengampuni dosa-dosamu
Semoga Allah menerima amal ibadahmu
Dan semoga tempat yang layak ditujukan padamu
Ayah… meski kau telah tiada,
Namun kasih sayang dariku, akan selalu ada bersamamu…
***
The End
~~~~ MARI MERINGANKAN BEBAN ORANG TUA SENDIRI ~~~~
BalasHapusBisnis lokal yang paling BOOMING:
Terbukti, hanya dlm waktu 174 hari, member telah lebih dari 377.158 orang
DAFTAR DI SINI
http://indoboclub.com/?ref=zkr2
Dahsyat!!
- Mari Meringankan Beban Orang tua Sediri
- INI GRATIS ~~~~~~~~~~~~~~
- Jika Anda Seorang Pelajar Saat Nya mencari Uang Sendiri
- Mempunyai 2 sistem utama: Plan GRATIS & Plan INVESTASI
- Withdrawal bisa ke PM, Bank Lokal, dan Pulsa
- Web semakin AMAN dengan HTTPS/SSL 256 bit
- Komunikasi langsung dgn Admin via SMS/Call/FB
- Invest minimal $0.5 via PM, EgoPay, Payza, & Bank Lokal
- Profit 2% x 100 hari + Profit extra
- Compound minimal $0.5
- WD INSTANT ke PM minimal $0.02 (cuma butuh waktu 3 detik)
- WD ke Bank Lokal minimal $20 (kurs $1 = Rp 9.700)
- WD dgn Pulsa HP dengan harga dibawah standar pasar
- Tersedia fitur IBC MOBILE, website versi HP
- Jika Ingin Lebih Jelass Lagi Kunjungi web saya Di
http://kesuksesantergantunganda.blogspot.com/
- Terima Kasih