Jumat, 03 Mei 2013

64. cerpen "pupus"

Sebuah senyum terukir manis di sudut bibir vionica saat menatap langit sore di taman tak jauh dari tempat tinggalnya. Kegiatan rutin yang ia lakukan setiap sore. Tidak pernah sekalipun ia alpa mengunjungi taman itu kecuali cuaca tidak bersahabat.

Melihat awan yang berarak di sekeliling langit biru benar - benar menenangkan hatinya. Rasanya semua rasa lelah serta berat beban yang ia tanggung menguap begitu saja.

Di liriknya jam yang melingkar di tangan, pukul 17:00 kurang seperempat. Sepertinya tanpa sadar ia sudah menghabiskan waktu hampir 15 menit duduk santai di sana. Hanya diam menatap langit, sama sekali tidak memperdulikan sekeliling yang kadang masih saja ada yang heran menatap ulah nya. Walau sebagian lainnya sudah menganggap itu hal biasa.

Terlebih dahulu menarik napas dalam - dalam akhirnya Vionica bangkit berdiri. Melangkahkan kaki kearah rumah tingkat bercat kuning di kawasan cendana. Yang sudah sejak Empat bulan terakhir ditetapkan sebagai tempat tinggalnya.

"Baru pulang vio?".

Merasa ada yang memanggil namanya Refleks vio menoleh. Kepalanya langsung mengangguk di sertai sebuah senyuman yang tak luput dari wajahnya saat mendapati Fandi yang berjalan dengan nafas sedikit terengah dibelakangnya.

"Tumben nggak mampir ketaman?" tanya Fandi lagi sambil berjalan beriringan.

"Barusan aku dari sana".

"Masa si?. Kok tadi aku nggak liat?"

Dan vio hanya angkat bahu membalasnya.

"Ngomong - ngomong kamu habis dari mana?" tanya vio mengalikan permbicaraan.

"Main bola di lapangan".

"O" Mulut Vio membulat. Sepertinya ia sudah paham sekarang kenapa Fandi terlihat ngos ngosan.

"Vio?".

"Kenapa?" Tanya Vio saat mendapati tatapan Ragu di wajah Fandi.

"Sudahlah.. Lupakan".

Walau bingung Vio tidak berkomentar apa - apa lagi. Lagi pula sepertinya ia juga sudah sampai tepat di depan kostannya. Dengan sedikit basa - basi Vio pamit masuk kerumah.


Setelah mengemasi barang barangnya vio bersiap siap untuk pulang. Sesekali matanya melirik sekilas kearah seseorang yang duduk selang dua meja darinya. Seseorang yang kali ini mengenakan kemeja putih dengan garis garis hitam yang makin terlihat keren benar benar telah menarik perhatian vio.

"Dari pada cuma lirik lirik pandang kenapa nggak coba samperin aja langsung".

Suara bisikan yang mampir di telinganya sukses membuat vio menoleh. Merasa kesel saat mendapati senyum janggal di bibir vieta, sahabat terbaiknya.

"Apaan sih" gerut vio sambil kembali mengalihkan perhatian nya kearah buku catatan yang masih tergeletak di meja.

"Nggak usah ngeles. Orang bego juga pasti akan langsung tau kalau kamu suka sama Harry cuma melihat dari cara mu menatapnya" tambah vieta lagi.

Kali ini vio kembali menoleh. Menatap tajam kearah vieta. Orang bego juga akan tau?. Maksutnya harry bego karena sepertinya orang itu tidak tau?. Ehem, atau pura - pura nggak tau ya?.

"kau akan tau jawabannya kalau kau berani bertanya langsung padanya".

Kali ini kening vio berkerut bingung, emang sahabatnya bisa membaca pikirannya ya?.

"nggak usah heran aku bisa tau apa yang kau pikirkan. Soalnya itu jelas -jelas terukir di jidat mu".

Mendengar kalimat yang vieta lontarkan barusan sontak membuat vio memberengut sebel. Apa apa an itu?. Tadi tatapan mata, sekarang terukir di jidat. Memangnya mulut udah nggak perlu di pake lagi ya?.

Sayangnya belum sempat mulut vio mengeluarkan bantahan, suara lain sudah terlebih dahulu menginterupsi.

"vio kamu nggak pulang?".

"Eh, em. Pulang kok. Ni lagi beres - beres" balas vio sedikit tergagap. Tidak menyangka, Harry, orang yang sedari tadi ia gosipkan akan menyapanya duluan.

"Oh gitu . Duluan ya" pamit Harry sambil tersenyum.

Senyuman yang paling vio sukai sekaligus paling ia benci. Suka, karena itu adalah senyuman paling manis yang pernah ia temui. Benci, karena ia sadar kalau senyum itu bukan hanya untuknya.

"Ehem, Ck ck ck".

Vio sama sekali tidak memperdulikan decakan mengejek yang keluar dari mulut Vieta. Matanya masih terus menatap sosok Harry yang terus melangkah menjauh. Samar sebuah senyuman terukir di bibirnya. Sebuah senyum penuh harapan. Ya, ia masih boleh berharapkan. Selama ia tau masih belum ada seseorang yang menjadi pasangan pemilik senyum faforitnya.

Cerpen Pendek "Pupus"

"Oh ya, Tadi katanya ada yang ingin kamu katakan. Apa?".

Pertanyaan yang Harry lontarkan sontak menyadarkan Vio dari lamunannya. Jantungnya berdetak Dag Dig Dug nggak karuan. Hari ini, Di taman ini, Ia berdiri. Berhadapan langsung dengan Harry yang kini berada tepat di hadapannya.

Menuruti saran Vieta, Ia nekat menemui Harry. Mengajaknya ketemuan di taman belakang kamus. Berniat untuk mengungkapkan langsung tentang perasaannya.

"Harry..." Ujar Vio dengan Suara sedikit bergetar. Astaga, Jantungnya. Masihkan ada di dalam dadanya ataukah sudah melompat keluar.

"Aku suka sama kamu" Sambung Vio akhirnya.

Sunyi, Hening dan sepi. Vio masih menatap lurus kearah Harry yang juga kini menatapnya. Sedikit perasaan lega tergambar di wajah vio saat ia menyadari kalau ia berhasil mengucapkan kata yang sudah sejak kemaren - kemaren ia praktekan sendiri. Namun, disaat bersamaan rasa cemas juga menghantuinya. Rasa cemas menanti jawaban yang akan keluar dari mulut Harry.

"Aku juga menyukaimu...".

Kalimat yang keluar dari mulut Harry benar - benar mengantar Vio terbang keawang - awang. Merasakan bahagia yang tak pernah ia rasakan sebelumnya. Dan sebelum sebuah senyuman terukir di bibirnya sebagai luapan rasa bahagiannya ia sudah terlebih dahulu menyadari kalau ia telah dihempaskan jatuh kedasar jurang yang paling dalam saat mendengar kalimat lanjutan Harry.

"Tapi sebagai sahabat".

Dan yang terjadi selanjutnya vio sama sekali tidak menyadarinya. Ia tidak menyadari saat kepalanya mengangguk, ia tidak menyadari saat harry mengucapkan kata maaf padanya. Bahkan ia juga tak menyadari kata kata yang keluar dari bibirnya. Ia juga tak menyadari saat Harry melangkah meninggalkannya. Dan untuk pertama kalinya perasaannya tak menyadari sebuah senyum yang tetap Harry lontarkan untuknya.

Satu satunya hal yang mampu ia sadari adalah rasa sakit. Rasa sakit yang mendera kedalam hatinya, yang mengalir didalam darahnya. Dan ia menyadari kalau ini bukan mimpi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar