Sebuah senyum terukir manis di sudut bibir vionica saat menatap langit
sore di taman tak jauh dari tempat tinggalnya. Kegiatan rutin yang ia
lakukan setiap sore. Tidak pernah sekalipun ia alpa mengunjungi taman
itu kecuali cuaca tidak bersahabat.
Melihat awan yang berarak di sekeliling langit biru benar - benar
menenangkan hatinya. Rasanya semua rasa lelah serta berat beban yang ia
tanggung menguap begitu saja.
Di liriknya jam yang melingkar di tangan, pukul 17:00 kurang seperempat.
Sepertinya tanpa sadar ia sudah menghabiskan waktu hampir 15 menit
duduk santai di sana. Hanya diam menatap langit, sama sekali tidak
memperdulikan sekeliling yang kadang masih saja ada yang heran menatap
ulah nya. Walau sebagian lainnya sudah menganggap itu hal biasa.
Terlebih dahulu menarik napas dalam - dalam akhirnya Vionica bangkit
berdiri. Melangkahkan kaki kearah rumah tingkat bercat kuning di kawasan
cendana. Yang sudah sejak Empat bulan terakhir ditetapkan sebagai
tempat tinggalnya.
"Baru pulang vio?".
Merasa ada yang memanggil namanya Refleks vio menoleh. Kepalanya
langsung mengangguk di sertai sebuah senyuman yang tak luput dari
wajahnya saat mendapati Fandi yang berjalan dengan nafas sedikit
terengah dibelakangnya.
"Tumben nggak mampir ketaman?" tanya Fandi lagi sambil berjalan beriringan.
"Barusan aku dari sana".
"Masa si?. Kok tadi aku nggak liat?"
Dan vio hanya angkat bahu membalasnya.
"Ngomong - ngomong kamu habis dari mana?" tanya vio mengalikan permbicaraan.
"Main bola di lapangan".
"O" Mulut Vio membulat. Sepertinya ia sudah paham sekarang kenapa Fandi terlihat ngos ngosan.
"Vio?".
"Kenapa?" Tanya Vio saat mendapati tatapan Ragu di wajah Fandi.
"Sudahlah.. Lupakan".
Walau bingung Vio tidak berkomentar apa - apa lagi. Lagi pula sepertinya
ia juga sudah sampai tepat di depan kostannya. Dengan sedikit basa -
basi Vio pamit masuk kerumah.
Setelah mengemasi barang barangnya vio bersiap siap untuk pulang.
Sesekali matanya melirik sekilas kearah seseorang yang duduk selang dua
meja darinya. Seseorang yang kali ini mengenakan kemeja putih dengan
garis garis hitam yang makin terlihat keren benar benar telah menarik
perhatian vio.
"Dari pada cuma lirik lirik pandang kenapa nggak coba samperin aja langsung".
Suara bisikan yang mampir di telinganya sukses membuat vio menoleh.
Merasa kesel saat mendapati senyum janggal di bibir vieta, sahabat
terbaiknya.
"Apaan sih" gerut vio sambil kembali mengalihkan perhatian nya kearah buku catatan yang masih tergeletak di meja.
"Nggak usah ngeles. Orang bego juga pasti akan langsung tau kalau kamu
suka sama Harry cuma melihat dari cara mu menatapnya" tambah vieta lagi.
Kali ini vio kembali menoleh. Menatap tajam kearah vieta. Orang bego
juga akan tau?. Maksutnya harry bego karena sepertinya orang itu tidak
tau?. Ehem, atau pura - pura nggak tau ya?.
"kau akan tau jawabannya kalau kau berani bertanya langsung padanya".
Kali ini kening vio berkerut bingung, emang sahabatnya bisa membaca pikirannya ya?.
"nggak usah heran aku bisa tau apa yang kau pikirkan. Soalnya itu jelas -jelas terukir di jidat mu".
Mendengar kalimat yang vieta lontarkan barusan sontak membuat vio
memberengut sebel. Apa apa an itu?. Tadi tatapan mata, sekarang terukir
di jidat. Memangnya mulut udah nggak perlu di pake lagi ya?.
Sayangnya belum sempat mulut vio mengeluarkan bantahan, suara lain sudah terlebih dahulu menginterupsi.
"vio kamu nggak pulang?".
"Eh, em. Pulang kok. Ni lagi beres - beres" balas vio sedikit tergagap.
Tidak menyangka, Harry, orang yang sedari tadi ia gosipkan akan
menyapanya duluan.
"Oh gitu . Duluan ya" pamit Harry sambil tersenyum.
Senyuman yang paling vio sukai sekaligus paling ia benci. Suka, karena
itu adalah senyuman paling manis yang pernah ia temui. Benci, karena ia
sadar kalau senyum itu bukan hanya untuknya.
"Ehem, Ck ck ck".
Vio sama sekali tidak memperdulikan decakan mengejek yang keluar dari
mulut Vieta. Matanya masih terus menatap sosok Harry yang terus
melangkah menjauh. Samar sebuah senyuman terukir di bibirnya. Sebuah
senyum penuh harapan. Ya, ia masih boleh berharapkan. Selama ia tau
masih belum ada seseorang yang menjadi pasangan pemilik senyum
faforitnya.
Cerpen Pendek "Pupus"
"Oh ya, Tadi katanya ada yang ingin kamu katakan. Apa?".
Pertanyaan yang Harry lontarkan sontak menyadarkan Vio dari lamunannya.
Jantungnya berdetak Dag Dig Dug nggak karuan. Hari ini, Di taman ini, Ia
berdiri. Berhadapan langsung dengan Harry yang kini berada tepat di
hadapannya.
Menuruti saran Vieta, Ia nekat menemui Harry. Mengajaknya ketemuan di
taman belakang kamus. Berniat untuk mengungkapkan langsung tentang
perasaannya.
"Harry..." Ujar Vio dengan Suara sedikit bergetar. Astaga, Jantungnya.
Masihkan ada di dalam dadanya ataukah sudah melompat keluar.
"Aku suka sama kamu" Sambung Vio akhirnya.
Sunyi, Hening dan sepi. Vio masih menatap lurus kearah Harry yang juga
kini menatapnya. Sedikit perasaan lega tergambar di wajah vio saat ia
menyadari kalau ia berhasil mengucapkan kata yang sudah sejak kemaren -
kemaren ia praktekan sendiri. Namun, disaat bersamaan rasa cemas juga
menghantuinya. Rasa cemas menanti jawaban yang akan keluar dari mulut
Harry.
"Aku juga menyukaimu...".
Kalimat yang keluar dari mulut Harry benar - benar mengantar Vio terbang
keawang - awang. Merasakan bahagia yang tak pernah ia rasakan
sebelumnya. Dan sebelum sebuah senyuman terukir di bibirnya sebagai
luapan rasa bahagiannya ia sudah terlebih dahulu menyadari kalau ia
telah dihempaskan jatuh kedasar jurang yang paling dalam saat mendengar
kalimat lanjutan Harry.
"Tapi sebagai sahabat".
Dan yang terjadi selanjutnya vio sama sekali tidak menyadarinya. Ia
tidak menyadari saat kepalanya mengangguk, ia tidak menyadari saat harry
mengucapkan kata maaf padanya. Bahkan ia juga tak menyadari kata kata
yang keluar dari bibirnya. Ia juga tak menyadari saat Harry melangkah
meninggalkannya. Dan untuk pertama kalinya perasaannya tak menyadari
sebuah senyum yang tetap Harry lontarkan untuknya.
Satu satunya hal yang mampu ia sadari adalah rasa sakit. Rasa sakit yang
mendera kedalam hatinya, yang mengalir didalam darahnya. Dan ia
menyadari kalau ini bukan mimpi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar