SEPOTONG CERITA SAAT JAM KOSONG
Karya Disca Betty Viviansari
Riuh sekali. Jutaan suara yang bersahut mulai membumbung tinggi
menguasai pikiranku. Bergantian. Hilir mudik masuk dan keluar. Memecah
konsentrasiku yang sedari tadi aku pupuk satu per satu. Sepertinya
suara-suara yang kurang penting itu telah menginfeksi seluruh program
dalam otakku. Kemudian disusul mulai memanas. Sistem otakku terganggu.
Perlahan. Yah, perlahan sekali mulai aku rasakan suara itu berkurang. Mengecil. Dan kemudian hanya sayup-sayup terdengar. Angin datang. Seakan membawa kericuhan itu menjauh. Sekali lagi angin datang. Dan hilang semua suara itu. Damai. Angin berhembus lagi. Membuaiku dalam alam pikiran yang semu.
Sepotong Cerita Saat Jam Kosong |
Kupandangi tanaman depan kelasku. Ntah sudah berapa kali dia bertahan
melawan hujan dan panas beberapa hari ini. Terlihat lemah dan layu.
Menderita. Sehelai daunnya jatuh dan melayang. Seperti jiwaku yang aku
sendiri tak kuasa bagaimana mengendalikannya. Pikiran yang bertahan, dan
jiwa yang melayang. Mataku masih lekat memandang daun itu. Dia jatuh di
pelataran kelasku. Dan terinjak. Kemudian hancur, dan tersapu angin
yang kelihatan ragu-ragu menepisnya.
Mereka yang di luar alam pikirku tak pernah tau. Karena kurasa mereka memang tak pernah ingin tau. Mungkin yang mereka tau, aku hanyalah seorang remaja dengan goncangan jiwa. Dan yang mungkin juga mereka tau, aku tidak pernah ingin berinteraksi dan berbicara seperti mereka. Mereka hanya tau sebagian kecil dari aku. Mereka tidak tau. Aku yang berusaha bercerita dalam diam. Aku yang berusaha mengenal dalam kejauhan. Dan satu yang sangat aku tau. Aku mencintai alam pikirku. Dan tak akan pernah meninggalkan alam imajinasiku ini.
Mataku menyapu seluruh pemandangan yang bisa terjangkau dengan kedua lensa minusku ini. Pintu kelas yang terbuka, kran air, rumput basah, lapangan basket, genangan air, parkiran motor, dan banyak sekali. Satu-satu dari mereka tidak pernah lewat dari pemikiranku. Kemudian mataku berbenturan dengan sebuah pintu gerbang diujung sana. Hmm... pintu yang telah memisahkan duniaku dengan dunianya.
Aku sendiri tak pernah tau sejak kapan aku hidup di duniaku ini. Dunia yang kutahu sangat berbeda dengan dunia mereka. Kadangkala aku ingin hidup seperti mereka. Dengan canda dan tawa yang lepas. Dengan segala kemampuan dan fasilitas yang mereka miliki. Dengan semua yang wajar. Oke, mungkin tak banyak yang mengenalku disini. Namaku Disca. Dan aku butuh kebebasan.
Konsentrasiku pecah lagi. Kembali riuh terdengar. Sampai aku tak tau kata apa saja yang terucap dari mereka. Suara bola yang beradu dengan lantai turut membuat dentuman-dentuman di kepalaku. Aku ingin ketenangan. Dan aku ingin berteriak: “AKU BUTUH KEBEBASAN”.
“Hei, kau kenapa?”, seorang temanku membuatku tersentak dan sadar dari pikiranku.
“Aku gak kenapa-kenapa kok...”, jawabku datar sambil berusaha tersenyum.
Riuh sekali. Jutaan suara yang bersahut mulai membumbung tinggi menguasai pikiranku. Bergantian. Hilir mudik masuk dan keluar. Memecah konsentrasiku yang sedari tadi aku pupuk satu per satu. Sepertinya suara-suara yang kurang penting itu telah menginfeksi seluruh program dalam otakku.
Kemudian disusul mulai memanas. Sistem otakku terganggu.
Perlahan. Yah, perlahan sekali mulai aku rasakan suara itu berkurang. Mengecil. Dan kemudian hanya sayup-sayup terdengar. Angin datang. Seakan membawa kericuhan itu menjauh. Sekali lagi angin datang. Dan hilang semua suara itu. Damai. Angin berhembus lagi. Membuaiku dalam alam pikiran yang semu.
Perlahan. Yah, perlahan sekali mulai aku rasakan suara itu berkurang. Mengecil. Dan kemudian hanya sayup-sayup terdengar. Angin datang. Seakan membawa kericuhan itu menjauh. Sekali lagi angin datang. Dan hilang semua suara itu. Damai. Angin berhembus lagi. Membuaiku dalam alam pikiran yang semu.
Kupandangi tanaman depan kelasku. Ntah sudah berapa kali dia bertahan melawan hujan dan panas beberapa hari ini. Terlihat lemah dan layu. Menderita. Sehelai daunnya jatuh dan melayang. Seperti jiwaku yang aku sendiri tak kuasa bagaimana mengendalikannya. Pikiran yang bertahan, dan jiwa yang melayang. Mataku masih lekat memandang daun itu. Dia jatuh di pelataran kelasku. Dan terinjak. Kemudian hancur, dan tersapu angin yang kelihatan ragu-ragu menepisnya.
Mereka yang di luar alam pikirku tak pernah tau. Karena kurasa mereka memang tak pernah ingin tau. Mungkin yang mereka tau, aku hanyalah seorang remaja dengan goncangan jiwa. Dan yang mungkin juga mereka tau, aku tidak pernah ingin berinteraksi dan berbicara seperti mereka. Mereka hanya tau sebagian kecil dari aku. Mereka tidak tau. Aku yang berusaha bercerita dalam diam. Aku yang berusaha mengenal dalam kejauhan. Dan satu yang sangat aku tau. Aku mencintai alam pikirku. Dan tak akan pernah meninggalkan alam imajinasiku ini.
Mataku menyapu seluruh pemandangan yang bisa terjangkau dengan kedua lensa minusku ini. Pintu kelas yang terbuka, kran air, rumput basah, lapangan basket, genangan air, parkiran motor, dan banyak sekali. Satu-satu dari mereka tidak pernah lewat dari pemikiranku. Kemudian mataku berbenturan dengan sebuah pintu gerbang diujung sana. Hmm... pintu yang telah memisahkan duniaku dengan dunianya.
Aku sendiri tak pernah tau sejak kapan aku hidup di duniaku ini. Dunia yang kutahu sangat berbeda dengan dunia mereka. Kadangkala aku ingin hidup seperti mereka. Dengan canda dan tawa yang lepas. Dengan segala kemampuan dan fasilitas yang mereka miliki. Dengan semua yang wajar. Oke, mungkin tak banyak yang mengenalku disini. Namaku Disca. Dan aku butuh kebebasan.
Konsentrasiku pecah lagi. Kembali riuh terdengar. Sampai aku tak tau kata apa saja yang terucap dari mereka. Suara bola yang beradu dengan lantai turut membuat dentuman-dentuman di kepalaku. Aku ingin ketenangan. Dan aku ingin berteriak: “AKU BUTUH KEBEBASAN”.
“Hei, kau kenapa?”, seorang temanku membuatku tersentak dan sadar dari pikiranku.
“Aku gak kenapa-kenapa kok...”, jawabku datar sambil berusaha tersenyum.
Aku punya keinginan. Tetapi aku diam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar